Beranda | Artikel
Adab pada Guru (3)
Selasa, 6 Oktober 2015

Salah satu adab lagi di hadapan guru, jika tahu guru tersebut berbuat salah, tetaplah diingatkan. Namun tentu mesti memperhatikan adab.

Adab ketiga: Menasihati Guru

Yang jelas, kesalahan guru jika tahu, mesti diluruskan dan itu bagian dari nasihat. Karena tidak ada manusia yang terlepas dari kesalahan. Bisa jadi guru kita juga salah berucap. Intinya mesti ada nasihat dan pelurusan.

Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad Daari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

(( الدِّينُ النَّصِيحةُ )) قلنا : لِمَنْ ؟ قَالَ : (( لِلهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأئِمَّةِ المُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi rasul-Nya, bagi pemimpin-pemimpin kaum muslimin serta bagi umat Islam umumnya.” (HR. Muslim no. 55).

Al-Hasan Al-Bashri berkata,

إنَّ أحبَّ عبادِ الله إلى الله الذين يُحببون الله إلى عباده ويُحببون عباد الله إلى الله ، ويسعون في الأرض بالنصيحة

“Sesungguhnya hamba yang dicintai di sisi Allah adalah yang mencintai Allah lewat hamba-Nya dan mencintai hamba Allah karena Allah. Di muka bumi, ia pun memberi nasehat pada orang lain.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1: 224).

Nasihat ini adalah tanda cinta pada saudara kita. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

لا يُؤمِنُ أحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحبُّ لِنَفْسِهِ

Tidaklah sempurna iman seseorang di antara kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45).

Dalam menasihati itu baiknya dilakukan secara diam-diam kecuali ada maslahat dengan terang-terangan. Karena asal nasihat adalah ingin yang lain menjadi baik, bukan ingin menjelek-jelekkan. Al-Khattabi berkata,

النصيحةُ كلمةٌ يُعبر بها عن جملة هي إرادةُ الخيرِ للمنصوح له

“Nasihat adalah kalimat ungkapan yang bermakna memberikan kebaikan kepada yang dinasihati” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1: 219).

Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan,

المؤمن يَسْتُرُ ويَنْصَحُ ، والفاجرُ يهتك ويُعيِّرُ

“Seorang mukmin itu biasa menutupi aib saudaranya dan menasehatinya. Sedangkan orang fajir (pelaku dosa) biasa membuka aib dan menjelek-jelekkan saudaranya.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1: 225).

Nasihat pada guru ini tetap ada karena tidak ada manusia yang sempurna dan tidak disyaratkan yang menasihati pula harus bersih dari dosa. Ibnu Rajab Al-Hambali pernah menyampaikan,

فلا بد للإنسان من الأمر بالمعروف و النهي عن المنكر و الوعظ و التذكير و لو لم يعظ إلا معصوم من الزلل لم يعظ الناس بعد رسول الله صلى الله عليه و سلم أحد لأنه لا عصمة لأحد بعده

“Tetap bagi setiap orang untuk mengajak yang lain pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Tetap ada saling menasihati dan saling mengingatkan. Seandainya yang mengingatkan hanyalah orang yang maksum (yang bersih dari dosa, pen.), tentu tidak ada lagi yang bisa memberi nasihat sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada lagi yang maksum.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 42)

Syaikh Bakr Abu Zaid berkata, “JIka guru berbuat salah atau ada suatu kerancuan pada dirinya, janganlah martabatnya jadi jatuh di pandanganmu. Karena engkau bisa meraih kemuliaan karena ilmu darinya. Karena siapa yang berani mengaku bahwa ia bisa selamat dari kesalahan?”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menerangkan perkataan Syaikh Bakr Abu Zaid di atas, “Akan tetapi jika guru kita berbuat salah, apakah kita mesti diam atau tetap mengingatkannya? Kalau ingin mengingatkan apakah mengingatkan di majelis ilmu atau di tempat lain?

Tentu saja, ada adab yang mesti diperhatikan dalam hal ini.

Kami katakan, jangan sampai kesalahan tersebut didiamkan. Karena kesalahan tersebut menjadi masalah untuk dirimu sendiri, juga untuk gurumu. Jika kesalahan tersebut diingatkan, tentu akan jadi lurus. Begitu pula jika ada kerancuan, karena bisa jadi ada salah kata-kata ketika berucap sehingga perlu sekali dibetulkan. Akan tetapi, apakah kesalahan tersebut diingatkan di dalam majelis ataukah di luar majelis?

Bisa jadi diingatkan saat itu juga di dalam majelis. Karena kalau tidak diingatkan, ilmu tersebut barangkali direkam, akhirnya nantinya tersebar padahal ada kekeliruan di dalamnya. Tentu saja kesalahan tersebut perlu diingatkan di dalam majelis.

Bisa juga kesalahan tersebut diingatkan di luar. Engkau jalan bersamanya (empat mata), lalu bisa berkata, “Wahai Syaikh, kami tadi mendengar engkau berkata seperti ini dan seperti itu, kami tidak mengerti atau kami sedikit rancu. Mungkin kami yang salah dengar atau barangkali ada yang keliru.” (Syarh Hilyah Thalab Al-‘Ilmi, hlm. 84)

 

Kita dapat simpulkan bagaimanakah cara menasihati guru yang keliru:

  • Nasihat didasari karena menginginkan kebaikan pada guru.
  • Nasihat adalah tanda cinta pada guru agar tidak terjatuh pada kesalahan.
  • Nasihat pada guru baiknya dilakukan sembunyi-sembunyi.
  • Nasihat bisa dilakukan di dalam majelis jika memang ada maslahat.
  • Tetap santun dalam menasihati.

Semoga Allah menganugerahi kita sekalian ilmu yang bermanfaat. Moga Allah senantiasa menjaga guru kita, memberkahi ilmu dan waktu mereka.

Referensi:

Lathaif Al-Ma’arif fima Al-Mawasim Al-‘Aam mi Al-Wazhaif. Cetakan pertama, tahun 1428 H. Ibnu Rajab Al-Hambali. Penerbit Al-Maktab Al-Islami.

Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Syarh Hilyah Thalib Al-‘Ilmi li Syaikh Bakr Abu Zaid. Cetakan pertama, tahun 1423 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ibnu Al-Haitsam.

 

Selesai disusun di Darush Sholihin Panggang, Gunungkidul, 22 Dzulhijjah 1436 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Ikuti update artikel Rumaysho.Com di Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat (sudah 3,6 juta fans), Facebook Muhammad Abduh Tuasikal, Twitter @RumayshoCom, Instagram RumayshoCom

Untuk bertanya pada Ustadz, cukup tulis pertanyaan di kolom komentar. Jika ada kesempatan, beliau akan jawab.


Artikel asli: https://rumaysho.com/12036-adab-pada-guru-3.html